Rabu, 21 Desember 2011

Ayo Jadi Pengusaha


Langkah awal yang menurut saya harus lakukan untuk menjadi pengusaha adalah kesiapan kita sendiri untuk menyebut diri sebagai pengusaha. Keberanian ini ditunjukkan dengan kebanggaan dan kepercayaan diri mengakui kita ini pengusaha. Pertanyaan orang tentang pekerjaan, hampir mendominasi basa-basi orang saat pertama kali bertemu muka. Pertemuan dengan orang yang baru dikenal selalu saja menanyakan profesi, pekerjaan, dan aktifitas keseharian.
“Maaf Mas, kerja di mana?”, saya sering mendengar pertanyaan ini dari waktu ke waktu. Kalau kebetulan PNS dengan bangga akan mengucap, saya bekerja di Depkeu (Departemen Keuangan) di Jakarta, saya bekerja sebagai manajer di perusahaan multinasional, saya bekerja sebagai Guru. Atau yang  bekerja pada kantor-kantor ternama lainnya akan menyebut nama kantornya. Tetapi bagi yang berprofesi dan memilih hidup mandiri sebagai wiraswastawan/wirausahawan/pebisnis/pengusaha akan menyebut apa?
Sering saya mendengar jawaban dengan nada kurang bahkan tidak percaya diri, “Saya wiraswasta Pa/Bu”. Ketidakpercayaan diri bahwa bekerja sendiri masih belum memiliki gengsi masih sering terasa. Nada yang saya dengar pun tidak terlalu enak di telinga dan membuat agak miris. Seakan-akan pekerjaan ini kurang baik dan tidak menjanjikan. Istilah wiraswasta dalam bahasa masyarakat sebenarnya agak berkonotasi negatif, lebih sering diartikan kecil dan masa depan tidak terlalu baik. Di masyarakat pun akhirnya kita sering mendengar istilah madesu (masa depan suram).
Coba kita bandingkan dengan istilah pengusaha lebih menjadikan kita antusias, membanggakan dan memberikan rasa percaya diri yang cukup tinggi. Istilah pengusaha sering diartikan sukses dan besar, apalagi sekarang ini banyak pengusaha sukses yang menjadi pemimpin daerah. Oleh karena itu, saya lebih sering dan lebih suka pada saat orang bertanya tentang aktifitas saya dan  saya menyebutnya pengusaha, bukan wiraswastawan.
Dalam berbagai kesempatan setiap bertemu orang baru, apalagi yang belum memiliki aktifitas yang jelas seperti masih mahasiswa atau bahkan bertemu dengan orang yang sudah bekerja, saya selalu katakan selalu ada pintu masuk untuk menjadi seorang pengusaha. Pintu sangat terbuka untuk menjadi pengusaha bahkan bagi yang masih mengganggur karena memiliki banyak waktu dan kesempatan.
Faktanya orang yang menganggur selalu bicara modal,”Saya tidak ada modal”. Saat bertemu mahasiswa yang masih studi, selalu bilang, “Saya tidak punya banyak waktu”. Dan orang yang sudah bekerja pasti akan bilang.” Pekerjaan saya banyak sekali dan saya sibuk sekali”. Tentu ini tidak salah, dan saya dalam berbagai kesempatan selalu berusaha untuk mencari celah agar nilai-nilai entrepreneurship masuk kepada orang yang baru saya temui.
Buku ini saya dedikasikan untuk pengembangan entrepreneurship di Indonesia, karena berdasarkan data yang ada Indonesia, saat ini baru mencapai 1,2 %, masih kalah dengan Filipina, yang entrepreneurnya sudah mencapai 1,5 % dari seluruh penduduknya, jika virus ini disebar 6 % saja dari seluruh penduduk Indonesia dan virus tersebut dapat menjadi 6 % entrepreneur, maka Indonesia sudah melebihi Taiwan dan Jepang. Entrepreneur yang ada di Taiwan hanya 4,8 % dari penduduknya, sedangkan yang ada di Jepang mencapai 4 % dari seluruh penduduknya. Bahkan saat ini banyak pihak percaya bahwa dengan angka 2% saja Indonesia sudah cukup menjadi negara yang produktif.
Ada sebagian orang yang merasa tidak berbakat menjadi pengusaha. Sangat banyak kambing hitamnya. Saya masih muda, saya perempuan, saya  bukan orang hebat, saya tidak punya modal dan entah masih banyak alasan lainnya. Dari sekian banyak pelatihan bisnis dan kewirausahaan  saya mendapat banyak pertanyaan, apakah saya berbakat menjadi pengusaha? Pertanyaan ini terkesan klasik karena memang ini adalah masalah klasik. Masalah di mana sebagian besar masyarakat kita menganggap bahwa menjadi pengusaha hanya  hak dan keahlian orang-orang tertentu. Bahkan sebagian besar masih berpendapat bahwa yang bisa menjadi pengusaha adalah dari etnis tertentu (sebut saja etnis Thionghoa). 
Latar belakang keluarga  dan lingkungan pertemanan memang sangat mendominasi pemikiran seseorang. Orang dengan latar belakang keluarga pengusaha lebih banyak berorientasi menjadi pengusaha dan sebaliknya. Namun latar belakang keluarga bisa berubah dengan kuatnya lingkungan pertemanan yang dimiliki oleh seseorang. Maka tidak salah jika di dalam agama Islam disebutkan bahwa orang akan tergantung pada teman dekatnya. Barang siapa berteman dekat dengan orang yang baik maka potensi menjadi orang baik juga semakin tinggi, Demikian sebaliknya jika berteman dengan orang yang berperilaku tidak baik kemungkinan besar juga bisa menjadi berperilaku tidak baik. Beberapa fakta yang ada menyebutkan bahwa banyak pengguna narkoba yang awalnya adalah anak baik di rumah dan menjadi tidak baik dalam hal ini menggunakan narkoba karena terbujuk oleh teman dekatnya.
Kenyataan ini memunculkan asumsi bahwa untuk menjadi pengusaha bertemanlah dengan pengusaha. Untuk menjadi lebih sukses bergaullah dengan orang sukses. Untuk bisa berhasil bertemanlah dengan orang yang telah berhasil. Pola yang demikian tercermin juga dalam kalimat bijak orang jawa,” Ojo cedak kebo gupak!”. Artinya jangan berdekat-dekatan dengan orang yang bermasalah. Analogi ini kita tarik menjadi berdekatanlah dengan orang – orang yang baik maka kita menjadi baik, berdekatanlah dengan pengusaha sukses maka ada harapan untuk menjadi pengusaha sukses.
Orang jawa jaman dulu mengenal istilah ‘ngenger”, ngenger kalo dalam bahasa sekarang mungkin dekat sekali dengan magang sambil belajar. Konsep belajar inilah yang membuat orang menjadi berhasil di kemudian hari. Sedikit cerita tentang ngenger perlu saya bagi karena mungkin sebagian dari pembaca buku ini bukan orang jawa atau mungkin bagi yang kebetulan orang jawa mampu mengingatkan kembali pada budaya yang baik ini. Ada seorang anak yang “ngenger” di rumah tetangganya yang biasa lebih  kaya. Anak ini kesehariannya berada di rumah tetangganya itu kecuali saat masih jam sekolah. Setelah pulang sekolah anak ini langsung membantu tetangganya. Aktifitas yang dilakukan biasanya adalah membantu tetangganya ini dalam berbagai keperluan, di sinilah anak ini belajar mandiri.
Dia belajar bagaimana cara bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Sore hari di desa biasanya Dia menggembala kambing tetangganya ini. Dari membantu pekerjaan di rumah tetangganya Dia mendapatkan upah dimana upah ini tidak pernah diitung berapa jumlahnya, kalo tetangganya memiliki uang lebih diberikannya uang, makanan, baju dan bisa juga kebutuhan sekolah. Dan dari hasil menggembala kambing dia dapatkan anak kambingnya yang biasanya dibagi dua. Inilah cara orang dulu belajar, dan ternyata banyak orang sukses dengan cara belajar seperti ini.
Cara yang mirip juga terjadi saat ini, banyak orang yang dulunya kernet atau kenek orang yang membantu sopir mobil untuk menarik uang penumpang dalam perkembangnnya menjadi sopir dan akhirnya menjadi pengusaha angkutan yang sukses. Ada orang yang awalnya membantu jualan nasi padang dan sekarang menjadi pengusaha masakan padang yang sukses, ada orang yang dulunya hanya menjadi pemulung sekarang menjadi juragan barang bekas, ada orang yang dulunya jualan pake sepeda onthel sekarang memiliki pabrik dan armada penjualan yang luar biasa besarnya, ada orang yang dulunya tukang bangunan sekarang menjadi kontraktor dan developer.
Cerita ini mengilhami bahwa yang penting adalah percaya pada hukum alam. Bayi baru lahir, merangkak dan akhirnya berhasil berjalan kemudian berlari. Hukum alam mengajar kepada kita bahwa semua berproses, sehingga kita yakin bahwa entrepreneur is being process is not to be. Menjadi pengusaha adalah berproses tidak tiba-tiba menjadi pengusaha yang sukses. Dan ini terjadi pada siapa pun yang mau berproses. Tidak tertutup dirinya masih muda, perempuan, ibu rumah tangga, sudah bekerja, sudah tua dan apa pun alasan yang membuat kita tidak menjalankan apa yang kita inginkan. Buku ini siap untuk memberikan inspirasi bahwa siapapun berkesempatan untuk menjadi pengusaha. Siapapun dan apapun kondisi kita sekarang.

Sebagian besar orang membatasi dirinya untuk menjadi pengusaha. Batasan-batasan yang diberikan oleh dirinya sendiri. Saya tidak punya bakat, keluarga saya tidak suka, bapak/ibu saya melarang, saya masih muda, lingkungan saya tidak mendukung, secara phisik saya tidak kuat, saya sudah tua, saya sudah harusnya pensiun, saya perempuan lemah, saya ibu rumah tangga dan berapa banyak lagi kendala yang ditimbulkan oleh pikiran kita sendiri. Jadikan kendala ini menjadi tantangan karena siapapun kita bisa jadi pengusaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar