Rabu, 21 Desember 2011

Artikel Terbaru (By Larto Desworo)


Mengapa Bisnis Kebanyakan Jatuh




Mohon maaf, sekali lagi mohon maaf. Mengapa saya perlu meminta maaf? Karena barangkali pendapat saya ini bertentangan dengan pakem yang sudah ada. Pakem bisnis yang banyak diyakini masyarakat bisnis kita, tidak lain adalah “Berhutanglah!”. Pakem ini saya jalani sampai dengan tahun 2010 dan saya menyatakan bahwa pakem ini salah besar.
Prinsip berhutang tentunya bisa jadi baik tetapi bisa jadi buruk, tetapi secara ekstrim saya katakan.”Jangan berhutang!”. Pada pembahasan-pembahasan berikutnya nanti akan kita bahas apa yang dimaksud tidak boleh berhutang. Sebelum berkeyakinan untuk menuliskan buku ini, saya berpikir panjang apakah perlu menuliskan pengalaman pribadi juga pengalaman teman-teman mitra bisnis yang gagal total karena terjerat hutang.
Tetapi sebelumnya saya ingin perkenalkan diri, nama Larto Desworo. Ini bukan nama asli saya, tetapi saya sering menggunakan nama ini jika diberikan kesempatan untuk mengisi acara seminar dan pelatihan bisnis di banyak tempat di seluruh Indonesia. Beberapa pulau telah saya singgahi dalam perjalanan menjadi pemateri seminar dan pelatihan bisnis maupun dalam kepentingan bisnis.
Kegagalan bisnis. Ya. Kegagalan bisnis bisa menemui kita bahkan seperti hantu di siang bolong. Kita tidak sadar bahwa bisnis yang kita jalani seperti menemui jalan buntu. Kesana mentok kesini mentok. Tidur susah dan makan minum juga tidak enak. Sebagai pengusaha terkadang saat seperti ini kita tidak berharga lagi. Celakanya kegagalan bisnis biasanya ditemani dengan teman setia yang tidak kita kehendaki yang tidak lain adalah jeratan hutang. Waduh pusingnya bukan main.
Saya tidak tahu apakah pembaca pernah mengalaminya atau tidak tetapi saya berharap pembaca tidak mengalami  apa yang pernah saya alami beberapa waktu yang lalu. Singkat cerita menanggung kegagalan bisnis itu pusingnya luar biasa. Malah saya pernah mendengar pernah ada yang bunuh diri karena mengalami kebangkrutan. Untungnya saya tidak melakukannya (just kiding). Tentunya pusing tujuh keliling, makan tak enak tidur tak nyenyak, itulah saat bisnis kita jatuh.
Persis seminggu sebelum buku ini saya tulis saya mendapat cerita dari mitra bisnis saya yang kebetulan adik kelas saya di kuliah dulu. Inti ceritanya Dia ini sedang sadar kalau ternyata yang dilakukannya telah salah langkah. Ceritanya Dia membangun bisnis di banyak hal, pokoknya semua bisnis diikutinnya dan ujung-ujungnya rumah dan pekarangan yang merupakan harta keluarga dijadikan jaminan hutang bank. Apa yang terjadi?
Adik kelas saya ini sedang pusing tujuh keliling karena kedatangan tamu kolektor setiap hari. Bahkan ibunya sampai trauma dengan suara motor yang berhenti di depan rumah. “Waduh..jangan-jangan kolektor lagi”, kata ibunya dalam hati. Hati dan perasaan adik kelas saya ini hampir menangis setiap saat jika melihat kolektor datang dan ibunya menangis karena dia masih belum bisa membayar angsuran bulanan.

Jebakan Hutang

Inti yang sedang saya bicarakan ini tidak lain penyebab kegagalan bisnis adalah hutang. Masih meneruskan cerita saya pada kasus adik kelas saya. Saya bertanya padanya,” Mas...bisnis apa yang kamu jalani kok sampai bisa utang sebanyak itu?”. “Bisnis photografi, even organizer, kuliner dan masih ada beberapa lagi Mas”, jawabnya pada saya.
Singkat cerita adik kelas saya ini menyimpulkan bahwa sebenarnya bisnisnya enggak salah, yang salah adalah cara mengelola bisnisnya yang semua dananya didanai dari hutang. Dari cerita adik kelas ini hutang yang dia tanggung semuanya dari 2 bank Rp 250 juta sedang angsurannya Rp 7,5 juta perbulan selama 3 tahun.
Diskusi tetap berlanjut sampai berjam-jam, kebetulan adik kelas yang satu ini pernah dapat materi dari saya yang pada intinya bisnis jangan mengandalkan hutang tetapi andalkan bisnisnya itu sendiri biar berjalan dulu. Dari ceritanya ternyata uang Rp 250 juta itu dibuat untuk beli kamera dan peralatan fotografi, modal bisnis kuliner, dan hanya menyisakan sedikit uang kas.
Lalu dapat darimana ilmu berhutang itu?
Dia mendapatkannya dari berbagai kesempatan pelatihan dan seminar bisnis bahwa berhutang itu mulia. Ya. Hutang itu mulia jika kita sanggup untuk membayarnya. Tetapi jika terlampau banyak hutang  dan bisnis masih belum berjalan baik yang ada malah pusing, apalagi bagi yang sudah berumah tangga (untung adik saya ini belum berumah tangga).
Saya dulu pernah mengatakan padanya, bisnis dulu saja jangan berhutang dulu. Tetapi karena ada sosok yang kuat dan ada institusi pembelajaran yang cukup ternama yang mengajarkan hutang, hutang dan hutang. Jadilah lupa segalanya. Dianggapnya uang mampu menyelesaikan segalanya. Bisnis yang penting bukan modalnya dulu tetapi bisnisnya dulu. Ini cerita pertama pada adik kelas waktu kuliah dulu di Purwokerto.
Cerita selanjutnya, kasus jebakan hutang yang terjadi pada teman-teman saya, pengusaha muda di Solo. Saya menyebut teman-teman karena kebetulan yang sedang bermasalah dengan jebakan hutang ini ada 4 orang. Selain pebisnis, mereka yang saya sebut teman-teman di Solo ini adalah motivator bisnis yang selalu menyuarakan pentingnya uang kas di awal bahkan sebelum bisnisnya berjalan. Dan tidak lain di dapat dari berhutang.
Sekitar 4 bulan lalu, saya terkejut mendengar 3 teman saya ini jatuh bisnisnya dan menangung hutang yang bahkan besarnya sampai beberapa Miliar dari hasil top up KPR. Apa maksudnya top up KPR?
Jadi teman saya ini membeli rumah dengan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dari salah satu bank. Misalnya tahun 2008 dia membeli rumah seharga Rp 500 juta, dengan DP 100 juta. Kemudian setelah berjalan lebih dari 1 tahun rumah tersebut di KPR lagi dengan menaikkan kreditnya menjadi 800 juta. Maka pada saat top up itu dilakukan teman saya ini dapat uang kas yang jumlahnya lumayan besar. Dan itulah hutang bank. Yang mau tidak mau harus dibayar. Awalnya dia menyimpan uang itu sebagian untuk cicilan perbulannya, tapi ternyata karena banyak bisnis yang dijalankan dan banyak yang gagal, akhirnya hutangnya menumpuk dan selalu gagal bayar.
Pertanyaannya, berati manajemen pengelolaan hutangnya jelek dong?
Ya jelek. Tepati lebih jelek lagi karena hutang ditutup dengan hutang dan hutang lagi dan hutang lagi dan hutang lagi. Kalau begitu, saat mulai bisnis hindari dulu berhutang. Apalagi hutang yang besar yang tidak mampu ditutup dengan besaran bisnis yang sedang kita bangun.
Kata-kata motivasi, jika ada masalah pasti ada jalan kelar bukannya tidak benar. Tetapi lebih baik membangun bisnisnya dulu dan hindari hutang karena saat membangun bisnis yang paling penting adalah membuat bisnis berjalan dengan baik terlebih dulu. Ini yang sangat penting.
Cerita kegagalan bisnis karena hutang bukan hanya saya terima dari teman di Solo dan Purwokerto. Tetapi juga teman-teman bisnis di Jakarta, Bandung, Makasar dan hampir di seluruh Indonesia di mana pernah saya bertemu dengannya. Jika bercerita tentang kegagalan bisnis pasti ceritanya tidak lepas dari menangung jeratan hutang.  
Menurut saya, provokasi terhadapt perlunya hutang pada setiap mengawali bisnis harus diberikan juga risiko-risiko yang mungkin timbul jika salah kelola bisnisnya. Semua orang akan lupa daratan jika awalnya tidak memegang uang lalu pegang uang banyak. Bisa jadi larinya uang tidak semuanya ke bisnis atau peruntukkannya. Ya. Itulah godaan uang.
Pembaca mungkin ada yang bertanya, seumuran berapakah teman-teman saya yang sedang gagal ini? Mereka rata-rata berumur antara 20 – 35 tahun. Rata-rata mereka baru memulai bisnis setelah lulus kuliah, setelah berhenti kerja atau memang setelah lama menganggur. Tanpa ilmu yang cukup di bisnis karena provokasi yang berlebihan mereka tergiur hutang dengan menjaminkan apa yang dia punya. Karena bisnis baru berjalan dan sudah menanggung hutang, risiko yang sangat tidak diharapkan pun terjadi.

Lalu jebakan apa yang terjadi selanjutnya setelah terjerat hutang?
Cerita nyata yang dialami teman-teman dan bahkan jujur pernah saya alami. Pada waktu terjerat hutang saatnya harus diangsur, maka mau tidak mau langkah pertama untuk mempertahankan diri adalah gali lubang alias hutang lagi. Lalu hutang ini diarahkan pada orang-orang yang kita kenal. Agar diberikan pinjaman untuk menutup angsuran akhirnya kita juga menyertainya dengan janji akan dikembalikan secepatnya, misalnya janji kita satu atau dua minggu.
Lalu apakah dalam satu atau dua minggu kita dapat uang untuk mengembalikan? Jangankan mikir cari uang untuk mengembalikan utang pada teman dekat tadi, angsuran yang nunggak saja mungkin belum semua kita bayarkan, akhirnya yang terjadi jatuh tempo hutang kita pada teman disertai jatuh tempo hutang sebelumnya. Dan bisa jadi kita cari teman, saudara atau siapa saja yang dikenal untuk dipinjami lagi. Alih-alih permasalahan selesai yang ada caci maki dari teman, saudara dan kolektor pun tetap datang.
Pertanyaan selanjutnya, kita mau menjalankan bisnis atau mau melunasi hutang? Saran saya pada teman-teman yang terjerat hutang, jangan lagi berhutang pada teman, saudara atau siapa saja yang dikenal. Langkah cerdasnya adalah fokus pada bisnis yang ditekuni yang bisa menghasilkan uang. Dan jangan sekali-kali berhutang lagi pada teman, saudara atau relasi bisnis. Karena jika ini yang terjadi reputasi bisnis kita bisa hancur lebur. Jika jebakan hutang telanjur terjadi maka langkahnya adalah menyelesaikannya dengan produktifitas bukan dengan hutang lagi.
Mengapa saya harus membukukan pemikiran ini?
Karena saya tidak ingin banyak orang terjerat hutang yang membuat hidupnya terasa berat. Belum lagi jika yang berhutang sudah berkeluarga (berstatus menikah), hutang yang tidak segera terselesaikan akan membawa pada petaka di rumah tangga. Rumah tangga bisa berantakan dan saling menyalahkan, kalau sudah begini bagaimana mau bisnis dengan manajemen yang baik, yang ada di rumah seperti di neraka dan di pekerjaan pun begitu. Sehingga sangat beralasan jika pada akhirnya saya harus menuliskan pendapat saya tentang bisnis tanpa hutang.
Dari kacamata agama pun hutang memiliki banyak konsekuensi, hutang yang tidak bisa diselesaikan oleh orang tertentu bahkan sampai mati pun akan tetap menjadi tanggungan bahkan oleh ahli warisnya. Jika ada orang meninggal dunia selalu dikatakan di dalam prosesi pemakaman apakah orang yang telah meninggal tadi memiliki tanggungan hutang atau tidak? Jika memiliki tanggungan hutang silakan menghubungi ahli warisnya. Bahkan dalam keyakinan muslim hutang akan menghapus sebagian amal yang telah diperbuatnya semasa hidupnya untuk membayar hutang yang masih menjadi kewajiabannya (bahkan sampai dengan masa hidup setelah mati).
Pertanyaan mengapa banyak bisnis yang jatuh, salah satu jawabnnya adalah karena jebakan hutang. Oleh karena itu, kita harus hati-hati dalam menjalankan bisnis kita, jangan sampai kita lupa membuat bisnis kita berjalan karena salah arah dengan hutang yang telah kita buat sendiri.


Besar Pasak daripada Tiang
Setelah jebakan hutang, apalagi yang membuat bisnis banyak yang jatuh? Ternyata banyak dari kita belum bisa mengukur berapa pendapatan kita sebenarnya dan berapa yang harus dikeluarkan. Ya. Inilah jebakan klasik yang membuat kita gagal dalam bisnis yang kita geluti.
Masa muda merupakan masa di mana hasrat dan keinginan sangat besar. Masa di mana eksistensi harus diakui oleh banyak orang. Tidak boleh sukses sedikit lalu kebanyakan lupa daratan. Kalau sudah begitu pengeluaran kadang tidak terkontrol untuk hal-hal yang kurang perlu. Pengeluaran akhirnya tidak melihat pada pemasukan bisnisnya sudah banyak atau belum. Akhirnya orang ingin tampil wah di depan banyak orang.
Begitu juga banyak keluarga muda bisnisnya berantakan, karena salah satu pasangan mengendaki beli mobil padahal bisnis belum berjalan. Akhirmya mobil pun dibeli dengan cicilan per bulan. DP mobil diambil dari uang yang harusnya bisa menjadi tambahan modal kerja. Jadi akhirnya saat beli mobil kredit, kita rugi dua kali. Rugi pertama karena harusnya modal uang tidak diambil untuk DP dan rugi kedua setiap bulan mencicil mobil yang harusnya angurannya bisa untuk menambah modal. Beli mobil atau kendaraan yang bagus sebetulnya boleh dan tidak menjadi persoalan jika bisnis memang sudah dihitung dan bisa membiayai angsuran perbulannya.
Dari hasil ngobrol dengan beberapa teman pengusaha, sampailah pada kesimpulan saat kita baru memulai bisnis yang ada dihitungan kita cuma untung dan untung. Jarang sekali berpikir bagaimana mengelola risiko yang muncul. Ini berakibat pada pengeluaran yang tidak terkontrol. Pengin beli mobil beli dengan mencicil, pengin beli kulkas baru beli dengan mencicil, pengin beli motor lagi beli dengan mencicil belum lagi ditambah dengan angsuran KPR rumah atau pinjaman lain yang sudah ada sebelumnya. Akhirnya besar pasak daripada tiang.
Kalo sudah begitu konsentrasi di pekerjaan hilang karena pikiran kita hanya tertuju pada bagaimana cara mendapatkan uang bukan pada proses membesarkan bisnis. Tunggu sebentar! Kita hanya fokus pada cara mendapatkan uang dan bukan pada membesarkan bisnis artinya kita melupakan cara-cara menyehatkan manajemen bisnis, karena uang terambil banyak untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang sebetulnya kontraproduktif terhadap membaiknya sistem bisnis kita.
Jebakan pengeluaran lebih besar dari pemasukan ini umumnya terjadi pada bisnis-bisnis yang uangnya tidak dipisahkan antara uang bisnis dan uang keluarga. Saran saya, kita memang harus membedakan antara uang untuk bisnis dan uang pribadi. Dengan kita membuat hitungan dan mencatatnya secara tertib, maka persoalan ini akan mampu di atasi. Tentunya dengan menerapkan disiplin cukup tinggi.


Nafsu Besar Tenaga Kurang
Lalu berikutnya apa yang membuat bisnis kita bisa terhempas?
Banyak dari pengusaha baru yang salah mengukur diri. Beberapa teman yang pernah gagal dalam bisnisnya bercerita tentang kegagalannya. Dia menceritakan suatu saat tergiur untuk memperbesar bisnisnya. Sebut saja bisnis bakso A rame di kota B. Bisnis bakso A baru dibuka di kota B berjalan 3 bulan, karena melihat keuntungan di kota B maka diputuskan bakso A dibuka di kota C dan D. Pikirnya kalo di kota A mampu menghasilkan keuntungan sebesar 5 juta perbulan, maka dengan berdirinya bakso A di kota C dan D secara matematis keuntungan akan menjadi 15 juta.
Ya. Keuntungan akan menjadi 15 juta jika pasar dan kondisi di kota C dan D sama seperti di kota B. Ternyata apa terjadi?
Bisnis baksonya tamat.
Mengapa?
Karena keputusan investasi di kota  C dan D ternyata salah. Pada bulan ke-4 bakso di kota B ternyata tidak ramai lagi, pada waktu tiga bulan pertama ramai ternyata orang hanya mencoba tempat baru karena imbas promosi yang dilakukan oleh pengusaha ini. Di bulan ke -4 bakso di kota B sepi dan pengunjung banyak berkurang sementara pada bulan ke-4 membuka bakso baru di kota C dan D. Saat itu manajemen kacau karena di kota B bakso sepi dan tombok terus. Konsentrasi di kota C dan D pun menurun, karena manajemen stress dan belum berpengalaman menangani bisnis ini, akhirnya semua gagal total.
Masih banyak cerita kegagalan bisnis karena salah ukur kekuatan manajemen.  Contoh lagi, sebut saja terjadi pada bisnis penjualan produk. Penjualan produk consumer goods di salah satu kota sudah mulai bagus. Belum lagi pasar di kota tersebut mapan manajemen membuat gebrakan bisnis dengan memperluas area pemasaran. Bertambahnya arean pemasaran tentunya akan menambah pembiayaan manajemen. Lalu apa yang terjadi?
Bisnis ini menurun,  lalu menurun dan akhirnya tamat.
Lalu pertanyaannnya? Kapan manajemen membuat keputusan untuk memperluas dan melabarkan bisnisnya. Faktor-faktor penting seperti modal, pengalaman, SDM yang berkualitas, kesamaan pola konsumsi dan pertimbangan pasar lain harus diukur betul, sehingga keinginan yang besar didukung oleh kekuatan yang besar pula.



Rumput Tetangga Lebih Hijau
Sudah beberapa sebab kegagalan bisnis kita bicarakan. Lalu apa lagi?
Ya. Rumput tetangga terlihat lebih hijau.
Maksudnya?
Pengusaha pemula seringnya masih tergiur bisnis yang dijalankan temannya. Sudah punya bisnis kuliner lalu bagus lalu masuk ke bisnis property, kata orang bisnis property sedang bagus. Ya. Apa salah?
Tentu tidak salah kalau pertimbangannya tidak emosional. Kembali pada pokok cerita, banyak dari kita pengusaha seringnya membandingkan keuntungan yang kita peroleh dengan keuntungan teman kita. Kita sudah bisnis kuliner bagus untuk ukuran bisnis kuliner, lalu terjebak bisnis property misalnya.
Awalnya kita tanya-tanya ,”Gimana bisnismu teman?”. Tentu dijawabnya baik. Lalu terjadilah obrolan yang serius, karena menilai bisnis teman keuntungannya bagus lalu dia diminta untuk menambah investasi temannya dengan harapan dia mendapatkan keuntungan lebih.
Disinilah kadang muncul masalah, karena ternyata bisnis temannya tidak sebaik yang diceritakan. Karena uang sudah telanjur ditanamkan untuk investasi temennya jadilah rasa kcewa karena ternyata keuntungan yang diceritakan temannya tadi ternyata tidak benar. Nha lho...
Kejadian ini sangat sering terjadi pada lingungan bisnis kita, imbasnya selain hubungan pertemanan terganggu bisnis inti yang dikelolanya malah justru tidak berjalan dengan baik. Apalagi jika yang diinvestasikan besar jumlahnya. Ada satu cerita yang membuat kita harus belajar pada soal ini. Teman saya di Solo sebut saja Mr. B sudah memiliki bisnis bimbingan test yang cukup baik walaupun baru berjalan belum selama bimbingan test lain yang sudah mapan.
Suatu saat teman saya ini bertemu dengan orang yang memberikan penawaran investasi yang berbunga atau menghasilkan 10 % dari setiap yang diinvestasikan. Akhirnya karena tergiur hasil 10% dia memberikan investasi Rp 100 juta. Janjinya uang itu akan bisa diambil kapan saja dan selama uang mengendap di investasi tersebut akan selalu dapat 10 %. Ternyata hanya 2 bulan saja uang yang 10 % itu terealisasi dan jumlah uang yang Rp 100 juta itu pun hilang.
Saran saya, memang kita harus berkonstrasi terlebih dahulu pada bisnis yang kita geluti sendiri. Jangan sampai tergiur bisnis orang lain yang belum tentu kita bisa menjalaninya. Karena bisnis tetap butuh proses untuk belajar.

Lemah Syahwat
Maaf istilah yang saya pakai lemah syahwat. Apa artinya?
Artinya kurang bergairah. Bisnis itu perlu antusiasme dan semangat untuk terus belajar. Terkadang saat bisnis kita sedikit maju  kita lupa belajar dan lupa mendengar. Lalu tiba-tiba masuklah pesaing yang lebih dari kita. Ya. Semangat untuk terus memajukan manajemen perlu dilakukan dengan memberikan training-training manajemen secara teratur pada karyawan.
Apalagi jika bisnis masih ditangani sendiri. Beberapa temen saya bercerita begini. “ Seandainya waktu itu saya cepat belajar dan tidak terbuai oleh rasa malas, mungkin usaha saya sudah sangat maju”. Memang penyesalan selalu datang terlambat.
Usaha yang kita tekuni harus menjadi prioritas kehidupan kita dan menjadi agenda dalam keseharian. Kita tidak boleh terjebak dalam hura-hura bersama teman-teman. Ada satu cerita menarik yang bisa disimak agar cerita teman saya ini tidak terjadi pada pembaca.
Teman saya memiliki lembaga pendidikan komputer yang cukup ternama pada awalnya, disamping menerima siswa juga menerima pesanan design dari klient-klient untuk pekerjaan multimedia. Namun karena udah merasa berjalan semua kegiatan manajemen tidak dikontrol. Tiap hari bangun siang lalu ke kantor setelah makan siang keluar lagi. Terus menerus terjadi begitu. Sampai akhirnya dia terkejut siswa yang mendaftar semakin  berkurang dan uang kas menipis.
Pesanan design juga molor dan tidak terselesaikan. Akhir dari masa emas pun berakhir karena di waktu yang sama muncul pesaing yang lebih baik dan lebih profesional. Lalu bisnisnya menurun, menurun dan lenyap tak berbekas. Tentunya ini tidak boleh terjadi pada pembaca sekalian.
Bisnis hancur bukan suatu yang mudah, hancurnya bisnis membawa pengaruh psikologis pada kita juga keluarga. Saat kehancuran bisnis terjadi yang diperlukan justru mengumpulkan kekuatan dan bukan larut dalam kesedihan yang tak berujung. Chapter 1 memberikan pelajaran pada kita, bahwa banyak faktor penyebab kegagalan bisnis. Dan kita harus menghindarinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar